PANDEMI Covid-19, telah menempatkan banyak kalangan di dunia pendidikan pada posisi sulit. Bukan hanya murid dan orang tua murid, para guru pun mengalami persoalan yang tidak boleh dipandang sebelah mata.
Sejumlah guru di Singapura, misalnya, dilaporkan mengalami kelelahan mental yang mengarah kepada gangguan jiwa. Betty, bukan nama sebenarnya, seorang guru sekolah menengah dilaporkan mengalami serangan panik.
Serangan panik Susan, seperti dikemukakan kepada Channel News Asia (CNA) baru-baru ini, biasanya terjadi dua minggu sekali. Beban kerja yang berat, antara lain tugas guru harus berurusan dengan harapan orang tua dan ukuran kelas yang besar, disebut menjadi salah satu stresor tetap bagi Betty dan beberapa guru lainnya.
Kondisinya menjadi lebih buruk bagi Betty tatakala Pemertintah Singapura menetapkan kebijakan pembelajaran berbasis rumah penuh sejak April 2020, di tengah kekhawatiran meningkatnya infeksi COVID-19. Setelah periode itu, frekuensi serangan panik Betty pun meningkat menjadi dua kali seminggu.
“Kami tiba-tiba harus beralih ke pembelajaran online … dalam beberapa hari yang sangat singkat, banyak tugas yang harus kami lakukan. Mendorong dan membuat sumber daya dari awal, merekam diri kami melakukan kuliah online, merancang kuis online, dan sebagainya.”
Semua tugas tambahan itu, menurut Betty, sangat menegangkan. “Kami masih perlu memberikan umpan balik kepada siswa kami dan terus memberi mereka pekerjaan dan mempersiapkan lebih banyak sumber daya. Pekerjaan itu seperti tidak pernah berhenti. Saya benar-benar kelelahan — sangat, sangat terkuras.”
Selain beban kerja, sebagian guru merasa kesehatan mentalnya terabaikan atau tidak diprioritaskan. Hal itu dialami oleh Susan, bukan nama sebenarnya, seorang guru dari sebuah sekolah lain, yang ditugaskan untuk membantu siswa dalam program “waspada bunuh diri.”
Tekanan psikologis yang dialami Susan bertambah, terlebih setelah terjadinya insiden River Valley High School (RVHS), di kawasan Boon Lay, Singapura. Insiden itu terjadi pada 19 Juli 2021, tatakala seorang siswa laki-laki berusia tiga belas tahun di SMP RVHS diduga dipukul hingga tewas dengan kapak. Terduga penyerang adalah seorang siswa laki-laki berusia enam belas tahun dari sekolah yang sama, yang ditangkap tak lama setelah insiden tersebut. Insiden tersebut dilaporkan belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Singapura.
Tetapi bukannya mengatasi kendala psikologis para siswa, Susan sendiri sebagai guru juga mengalami terkendala secara mental. Ia pun memberanikan diri untuk menceritakan hal itu kepada kepala sekolahnya. Sayangnya, Susan tidak merasa didukung.
“Saya agak sedih mendengar kepala sekolah keheranan. Dia berkata, ‘kesehatan mental guru? Itu kan tergantung pada kalian semua. Kalian sudah dewasa. Kalian harus saling menjaga dan menjaga satu sama lain,’” ungkap Susan.
Begitulah. Bukan hanya murid, guru seperti Betty dan Susan pun mengalami tekanan psikologis selama pandemi. Betty dan Susan termasuk di antara sekitar 100 lebih guru yang memberikan tanggapan kepada rubrik CNA Insider agar para guru berbagi pengalaman bagaimana mereka mengatasi persoalan psikologis mereka.
Dalam kaitan itu, seorang guru menulis: “Sungguh mengerikan menjadi seorang guru dalam dua tahun terakhir. Saya tahu kesehatan mental saya berada pada titik terendah sepanjang masa.”
Guru yang lain berkata: “Dua tahun ini sangat berat karena … beban kerja telah meningkat secara drastis, dan itu membebani kami secara fisik dan emosional. Kami berada dalam pandemi dan tidak ada konsesi untuk para guru.”
Seorang guru sekolah dasar yang telah mengajar selama empat tahun juga ikut berbagi. “Ketika kami mengungkapkan stres dan kelelahan mental kami, kami hanya diberitahu, ‘Guru harus belajar bagaimana mengelola stres mereka sendiri.’ Saya berpikir untuk berhenti setiap minggu demi kesehatan saya. ”
Dalam sebuah wawancara dengan CNA Insider, Wakil Direktur Jenderal Pendidikan bidang Pengembangan Profesional dari Kementerian Pendidikan Singapura (MOE), Chua-Lim Yen Ching, mengatakan, “Kementerian tidak dapat menyangkal bahwa COVID-19 telah memengaruhi kami.”
Dia mengungkapkan bahwa dalam survei MOE yang dilakukan pada Juni 2021 dan melibatkan 460 guru sebagai responden, tercatat tujuh dari 10 responden mengatakan “mereka dapat mengatasi” stres kerja.
“Tapi meski begitu, kami tetap harus membantu tiga dari 10. Itu tidak berarti karena tujuh dari 10 mengatakan mereka baik, maka kami mengatakan oke,” kata Chua.
Pertanyaan tentang kesejahteraan guru ditambahkan ke survei untuk pertama kalinya tahun lalu. “Kami menyadari bahwa kesejahteraan staf sangat penting, dan kami ingin memiliki data yang representatif,” katanya.
“Kita semua akan stres, (tapi) yang paling penting adalah kita harus bisa mengatasinya. Hanya ketika Anda stres dan Anda tidak bisa mengatasinya, kami pun menjadi khawatir.”
Solusi
Ditanya tentang stres yang mempengaruhi mereka akhir-akhir ini, sebagian besar guru di Singapura kepada CNA Insider menunjuk pada peralihan cepat dari pembelajaran tatap muka di kelas menjadi pembelajaran berbasis rumah alias pembelajaran via daring sebagai penyebab utama.
Sebagai solusi, para guru menyebutkan perlunya membuat materi pelajaran online dengan cepat, mengambil keterampilan untuk menyampaikan pelajaran yang menarik, dan memastikan bahwa siswa menghadiri kelas.
Susan, yang telah mengajar di sekolah menengah selama 15 tahun merasa frustrasi ketika setiap saat harus meminta siswa untuk menyalakan kamera mereka dan hamper setiap pagi dia harus menelepon siswa yang tidak hadir di kelas daring.
“Saya sangat frustrasi, sehingga saya harus pergi ke luar rumah dan jogging setiap hari,” tambahnya.
Di Singapura, pembelajaran jarak jauh bahkan sudah menjadi tantangan tersendiri bagi guru yang lebih muda dan lebih paham teknologi. Melissa, seorang guru lainnya misalnya mengatakan beberapa rekan guru yang lebih tua dari dia pun sudah lebih keteteran lagi.
“Guru yang lebih tua punya masalah misalnya, ‘Bagaimana cara masuk di sini, bagaimana cara masuk di sana?’ Ada banyak tekanan pada mereka,” kata guru sekolah menengah itu.
Lisa, guru berusia 50-an dan telah mengajar di sekolah dasar selama 20 tahun, mengaku merasa sangat sial ketika kebijakan pembelajaran online mulai berlaku, karena “kurva pembelajaran” untuk mengadopsi teknologi baru “sangat curam.”
“Dibandingkan waktu saya (ketika saya mulai mengajar), saya ingin belajar banyak dari guru yang telah mengajar (untuk waktu yang lama). Tapi sekarang, guru-guru baru melihat saya seperti saya tidak banyak (berkontribusi),” katanya.
Saat ini, kekhawatiran pengajaran dan administrasi ini hanya mengambil bentuk baru ketika pelajaran fisik dilanjutkan dengan “model pembelajaran campuran” di mana pembelajaran berbasis rumah terjadi sekali dalam dua minggu.
Setiap kali ada lonjakan kasus COVID-19, David, seorang guru lainnya, juga harus “bersiap” dengan paket pelajaran online jika sekolah kembali ke pembelajaran berbasis rumah penuh.
Guru matematika sekolah menengah itu mengingat saat “hampir setiap hari”, dia harus menyiapkan materi tambahan yang “sebagian besar” tidak digunakan.
Selain beban kerja mengajar ekstra, para guru di Singapura kini dilaporkan memiliki sejumlah tugas administrasi terkait COVID yang “mengerikan”, seperti melacak perintah karantina siswa dan sesama guru serta hasil tes COVID-19, kata guru geografi sekolah menengah itu.
“Kementerian Kesehatan terus-menerus mengeluarkan arahan baru tentang berapa lama mereka harus di rumah, apakah sekolah akan melanjutkan pembelajaran berbasis rumah, kapan ketidakhadiran yang disetujui dimulai (dan) berakhir, tes swab. Banyak yang harus ditangani,” tambahnya.
Sumber asal: https://www.channelnewsasia.com/
Editor: Haryo P Dwiatmoko





