TIONGKOK
Ujian Bagi Siswa SD Dihapus, Anak Usia Dini Diharapkan Lebih Sehat dan Bebas Stres
Ujian adalah bagian tidak terpisahkan dari aktivitas pendidikan di sekolah. Akan tetapi, jika hal itu dipraktikkan secara berlebihan, maka ia dapat menyebabkan beban tersendiri kepada peserta didik.
Stress, tekanan mental, kecemasan, dan gejala-gejala psikologis lain yang berpotensi mengarahkan peserta didik menuju kegagalan pun, tidak mustahil akan muncul.
Dalam upaya untuk memperbaiki kondisi tersebut, Kementerian Pendidikan Tiongkok, baru-baru ini, mengumumkan larangan ujian tertulis bagi anak-anak sekolah yang berusia enam dan tujuh tahun.
Menurut laporan kantor berita AFP, yang dikutip situs bbc.com, pekan lalu,larangan tersebut merupakan bagian dari program reformasi pendidikan yang ditujukan untuk mengurangi tekanan, bukan hanya pada siswa, namun juga pada orang tua.
Kementerian Pendidikan Tiongkok menilai tekanan seperti itu merugikan “kesehatan fisik dan mental” para siswa.
Sebelum reformasi itu ditetapkan, siswa Tiongkok terbiasa mengikuti ujian dari tahun pertama sekolah dasar, hingga ujian masuk perguruan tinggi pada usia 18 tahun.
Kini, ujian bagi siswa-siswa usia muda itu tidak lagi ada.
Aturan baru ini disebut juga membatasi jumlah ujian dan ujian yang dapat ditetapkan sekolah per semester.
“Untuk kelas satu dan dua SD tidak perlu mengikuti ujian berbasis kertas. Untuk kelas lain, sekolah dapat menyelenggarakan ujian akhir setiap semester. Ujian tengah semester diperbolehkan untuk SMP. Daerah tidak diperbolehkan menyelenggarakan ujian regional atau ujian antar sekolah untuk semua kelas SD,” tambah Kementrian Pendidikan Tiongkok dalam pernyataan tersebut.
“Siswa SMP yang tidak lulus juga tidak diperbolehkan mengikuti ujian mingguan, ujian unit, ujian bulanan dan ujian lainnya. Ujian yang disamarkan dengan berbagai nama, seperti penelitian akademis juga tidak diperbolehkan.”
Kebijakan Pemerintah Tiongkok tersebut ditanggapi beragam respons oleh masyarakat setempat.
Beberapa netizen, seperti muncul pada platform media sosial China Weibo, mengatakan kebijakan itu adalah langkah ke arah yang benar untuk mengurangi tekanan pada anak-anak. Namun, ada pula yang mempertanyakan ihwal bagaimana sekolah akan menguji dan mengukur kemampuan siswa jika mereka tidak diizinkan menyelenggarakan ujian bagi siswa.
Kementerian Pendidikan China, sebelumnya juga telah melarang pemberian pekerjaan rumah (PR) untuk siswa kelas satu SD mulai tahun ini, dan membatasi pekerjaan rumah untuk siswa sekolah menengah pertama hingga 1,5 jam setiap malam.
Bimbingan online
Sebelumnya lagi, pada Juli 2021, Kementerian Pendidikan Tiongkok dilaporkan juga telah melarang perusahaan bimbingan online yang mengajar mata pelajaran inti yang diajarkan di sekolah beroperasi di negara itu.
Selain dipandang sebagai upaya pihak berwenang untuk meringankan tekanan keuangan di kalangan orangtua dalam membesarkan anak-anak, larangan tersebut dinilai juga membatasi investasi asing di sektor bimbingan belajar swasta serta mengurangi ketimpangan sosial.
Kebijakan reformasi pendidikan yang diambil Pemerintah Tiongkok tersebut, memancing reaksi dari sejumlah kalangan, tidak hanya di dalam negeri, akan tetapi juga di manca negara.
Seorang kolumnis pendidikan di Amerika Serikat, Adam Minter dalam sebuah kolom di Bloomberg.com menilai melarang bimbingan belajar online tidak akan memperbaiki kualitas Pendidikan di Tiongkok.
Minter memahami bahwa upaya mengurangi kecemasan dan ketimpangan dalam pendidikan yang dicanangkan dalam program itu merupakan tujuan yang baik. Namun, menurut dia, rencana terbaru itu tidak mudah dicapai.
“Ini adalah tujuan yang layak. Tapi pemerintah (Tiongkok) salah mendiagnosis masalah ini. Sekolah menjejalkan” adalah respons rasional terhadap sistem yang kekurangan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan kelas menengah yang ambisius. Larangan kemungkinan besar akan memaksa industri swasta di bawah tanah, di mana orang tua kaya akan memiliki sarana untuk menyewa tutor. Itu akan membuat orang tua kelas menengah, yang sudah cemas tentang masa depan, menilai salah satu dari sedikit layanan yang mereka pikir akan meningkatkan peluang keberhasilan anak-anak mereka.”
Bimbingan belajar privat di Tiongkok dilaporkan telah menjadi industri yang sebelum larangan itu diberlakukan bernilai sekitar $100 miliar atau sekitar 1.500 triliun rupiah. Sebuah survei baru-baru ini, seperti dikutip Minter dalam kolomnya, menemukan bahwa 92% orang tua di Tiongkok telah mendaftarkan anak-anak mereka di kelas bimbingan belajar ekstrakurikuler, dengan biaya lebih dari $1.500 setahun.
Menurut Minter, larangan beroperasinya bimbingan belajar online tidak akan menghilangkan permintaan akan aktivitas tutorial privat.
Larangan tersebut, masih menurut Minter, hanya akan mengurangi kepercayaan di antara banyak orang Tiongkok, bahwa anak-anak mereka tidak memiliki kesempatan yang sama untuk sukses.
“Di sisi lain, bagi pemerintah, hal itu akan menjadi cara untuk menunjukkan bahwa kebijakan mereka itu pro-keluarga.” (BBC.com, Bloomberg.com)
Editor: Haryo P Dwiatmoko



